Dri… hei aku jaga nich malam ini, elu jangan kirim pasien yg aneh-aneh ya, saya mau bobo, begitu pesanku waktu terdengar telepon pada ujung sana diangkat. “Udah makan belum?” bunyi merdu pada seberang sana menyahut.“Cie… illeee, perhatian nich”, aku menyambung dan , “Bodo ach”, kemudian terdengar tuutt… tuuuttt… tuuut, rupanya telepon pada sana telah ditutup. Malam ini aku bisa giliran jaga di bangsal bedah sedangkan di UGD alias Unit Gawat Darurat ada dr. Audri yang jaga. Nah, UGD bila sudah malam begini jadi pintu gerbang, jadi semua pasien akan masuk via UGD, nanti baru dibagi-bagi atau diputuskan sang dokter jaga akan dikirim ke bagian mana para pasien yg perlu dirawat itu. Syukur-syukur sih bisa ditangani pribadi di UGD, jadi tak perlu bikin capek dokter bangsal. dr. Audri sendiri wajib saya akui beliau cukup terampil serta pintar jua, masih sangat belia sekitar 28 tahun, indah menurutku, tidak terlalu tinggi lebih kurang 165 centimeter dengan bodi sedang ideal, kulitnya putih dengan rambut sebahu.
Sifatnya relatif pendiam, jika bicara damai seakan menyampaikan kesan sabar akan tetapi yang tak jarang rekan sejawat jumpai yaitu ketus serta judes apalagi kalau lagi moodnya buruk sekali. Celakanya yang seringkali ditunjukkan, ya seperti itu. Gara-gara itu barangkali, sampai sekarang beliau masih single. Cuma dengar-dengar saja belakangan ini beliau lagi punya hubungan spesifik menggunakan dr. Wisnu tapi aku jua tidak pasti.
Kira-kira jam dua pagi, kamar jaga saya diketuk menggunakan cukup keras pula. “Siapa?” tanyaku masih relatif malas buat bangun, sepet sahih nih mata. “Dok, dinantikan di UGD ada pasien konsul”, suara dibalik pintu itu menyahut, oh suster Cindy rupanya. “Ya”, sahutku sejurus lalu. Sampe di UGD kulihat terdapat beberapa laki-laki di pada ruang UGD dan sayup-sayup terdengar bunyi rintihan halus asal ranjang periksa di ujung sana, sempat kulihat sepintas seorang laki-laki tergeletak pada sana tapi belum sempat kulihat lebih kentara ketika dr. Audri menyongsongku, “Gus, pasien ini jari telunjuk kanannya masuk ke mesin, parah, baru setengah jam sih, tensi oke, menurutku sih amputasi (dipotong, gitu maksudnya), gimana dari elu?” demikian resume singkat yang diberikan olehnya.“Dri, elu makin indah aja”, pujiku sebelum meraih status pasien yg diberikannya padaku serta waktu aku berjalan menuju ke daerah pasien itu, sebuah cubitan keras mampir di pinggangku, sembari dr. Audri mengiringi langkahku sehingga tidak terlalu lihat apa yg beliau lakukan. Sakit juga nih.saat kulihat, pasien itu memang parah sekali, boleh dibilang hampir putus serta yg tertinggal cuma sedikit daging dan kulit saja.“Dok, tolong dok… jangan dipotong”, pintanya kepadaku memelas. Akhirnya aku panggil itu si Om gendut, bosnya barangkali dan seseorang rekan kerjanya buat mendekat dan saya berikan pengertian ke mereka semua.“Siapa nama Bapak?” begitu aku memulai percakapan sambil melirik ke status buat memastikan bahwa status yang kupegang memang punya pasien ini.“Supandi”, sahutnya lemah.“Begini Pak Sup, aku mengerti keadaan Bapak serta aku akan berusaha buat mempertahankan jari Bapak, namun hal ini tidak mungkin dilakukan sebab yg tersisa hanya sedikit daging serta kulit saja sehingga tidak terdapat lagi pembuluh darah yg mengalir hingga ke ujung jari. Jika aku jahit serta sambungkan, itu hanya sementara waktu mungkin kurang lebih dua – 4 hari setelah itu jari ini akan membusuk serta mau tidak mau di akhirnya wajib dibuang juga, jadi dikerjakan dua kali.
jika sekarang kita lakukan hanya butuh 1 kali pengerjaan menggunakan akibat akhir yang lebih baik, saya akan berusaha untuk seminimal mungkin membuang jaringannya serta di penyembuhannya nanti diharapkan lebih cepat sebab lukanya rapi serta tidak compang-camping mirip ini”, begitu penjelasan saya di mereka.Kira – kira 1/4 jam kubutuhkan waktu buat meyakinkan mereka akan tindakan yang akan kita lakukan. selesainya semuanya oke, aku minta dr. Audri untuk menyiapkan dokumennya termasuk surat persetujuan tindakan medik dan pengurusan buat rawat inapnya, sementara saya siapkan peralatannya dibantu oleh suster-suster dinas pada UGD.“Dri, elu mau jadi operatornya?” tanyaku setelah semuanya siap. “Ehm… aku jadi asisten elu aja deh”, jawabnya sesudah terdiam sejenak. Entah kenapa ruangan UGD ini walaupun ber-AC permanen saja saya merasa panas sehingga buah-butir keringat yg sebesar jagung bercucuran keluar terutama berasal dahi dan hidung yg mengalir sampai ke leher ketika aku kerja itu. laba Audri mengamati hal ini serta menjadi asisten beliau cepat tanggap serta berulang kali beliau menyeka keringatku. saya suka sekali ketika dia menyeka keringatku, soalnya wajahku serta wajahnya begitu dekat sebagai akibatnya aku pula mampu mencium wangi tubuhnya yang begitu menarik hati, lebih-lebih rambutnya yg sebahu dia gelung ke atas sebagai akibatnya tampak lehernya yang putih berjenjang serta tengkuknya yg ditumbuhi bulu-bulu halus. benar-benar menggoda iman dan harapan. setengah jam kemudian selesai sudah tugasku, tinggal jahit untuk menutup luka yg kuserahkan pada dr. Audri. sehabis itu kulepaskan sarung tangan sedikit terburu-buru, terus cuci tangan di wastafel yg terdapat serta segera masuk ke kamar jaga UGD untuk pipis. Ini yg membentuk saya tidak tahan berasal tadi ingin pipis. Daripada aku mesti lari ke bangsal bedah yg cukup jauh atau keluar UGD di ujung lorong sana pula terdapat toilet, lebih baik saya pilih di kamar dokter jaga UGD ini, lagi pula cita rasanya lebih bersih.waktu kubuka pintu toilet (hendak keluar toilet), “Ooopsss…” terdengar jeritan mungil halus dan kulihat dr. Audri masih sibuk berusaha menutupi tubuh bagian atasnya dengan kaos yang dipegangnya. “Ngapain lu di sini?” tanyanya ketus. “saya habis pipis nih, elu juga kok nggak periksa-periksa dulu terus ngapain elu buka baju?” tanyaku tidak mau disalahkan begitu saja.
“Ya, udah keluar sana”, suaranya telah lebih lembut seraya beranjak ke pulang pintu biar tak kelihatan berasal luar waktu kubuka pintu nanti.ketika aku sampai pada pintu, kulihat dr. Audri tertunduk dan … ya ampun…. pundaknya yg putih halus terlihat hingga dengan ke pangkal lengannya, “Dri, pundak elu bagus”, bisikku dekat telinganya serta semburat merah muda segera menjalar di wajahnya dan beliau masih tertunduk yang menyebabkan keberanianku buat mengecup pundaknya perlahan. dia tetap terdiam dan segera kulanjutkan dengan menjilat sepanjang pundaknya hingga ke pangkal leher dekat tengkuknya. Kupegang lengannya, sempat tersentuh kaos yg dipegangnya buat menutupi bagian depan tubuhnya serta terasa agak lembab. Rupanya itu karena beliau membuka kaosnya buat merubahnya dengan yang baru. Berkeringat jua rupanya tadi.
Perlahan kubalikkan tubuhnya serta segera tampak punggungnya yg putih mulus, halus dan kurengkuh tubuhnya dan pulang lidahku bermain lincah pada pundak serta punggungnya hingga ke tengkuknya yg ditumbuhi bulu-bulu halus serta kusapu menggunakan lidahku yg basah. “Aaaccch… ach…” desahnya yang pertama serta disusul dengan jeritan mungil tertahan dilontarkannya waktu kugigit urat lehernya dengan gemas dan tubuhnya sedikit mengejang kaku. Kuraba pangkal lengannya sampai ke siku dan menggunakan sedikit tekanan kuusahakan buat meluruskannya sikunya yg secara otomatis menarik kaos yang dipegangnya ikut turun ke bawah dan berasal belakang pundaknya itu.Kulihat 2 buah gundukan bukit yang tak terlalu besar tapi sangat menantang dan pada bukit yg sebelah kanan tampak tonjolannya yang masih berwarna merah dadu sedangkan yg sebelah kiri tidak terlihat. Kusedot kembali urat lehernya dan beliau menjerit tertahan, “Aach… ach… ssshhh”, tubuhnya pun kurasakan semakin lemas oleh karena semakin berat saya menahannya. menggunakan tetap pada dekapan, kubimbing dr. Audri menuju ke ranjang yang ada dan perlahan kurebahkan dia, matanya masih terpejam dengan guratan nikmat terhias di senyum tipisnya, serta secara refleks tangannya berkiprah menutupi buah dadanya. Kubaringkan tubuhku sendiri pada sampingnya dengan tangan kiri menyangga beban tubuh, sedangkan tangan kanan mengusap lembut alis matanya terus turun ke pangkal hidung, mengitari bibir terus turun ke bawah dagu dan berakhir pada ujung liang telinganya.Senyum tipis terus menghias wajahnya dan berakhir menggunakan desahan halus disertai terbukanya bibir ranum itu. “Ssshhh… acchh…” Kusentuhkan bibirku sendiri ke bibirnya serta segera kami saling berpagutan penuh nafsu. Kuteroboskan lidahku memasuki mulut dan mencari lidahnya buat saling bergesekan lalu kugesekan lidahku ke langit-langit mulutnya, ad interim tangan kananku kembali menelusuri lekuk wajahnya, leher serta terus turun menyusuri lembah bukit, kudorong tangan kanannya ke bawah serta kukitari putingnya yang menonjol itu. lima hingga tujuh kali putaran serta putingnya semakin mengeras. Kulepaskan ciumanku dan kualihkan ke dagunya. Audri menyampaikan leher bagian depannya dan kusapu lehernya dengan lidahku terus turun dan menyusuri tulang dadanya perlahan kutarik tangannya yang kiri yg masih menutupi bukitnya. Tampak kini menggunakan kentara ke 2 puting susunya masih berwarna merah dadu tapi yang kiri masih tenggelam pada gundukan bukit. Feeling-ku, belum pernah terdapat yang menyentuh itu sebelumnya.Kujilat sempurna pada area puting kirinya yg masih terpendam memalukan itu pada jilatan yang kelima atau keenam, saya lupa. Puting itu mulai menampakkan dirinya dengan malu-malu dan segera kutangkap dengan pengecap serta kutekankan di gigi bagian atas, “Ach… ach… ach…” suara desisnya semakin sebagai dan kali ini tangannya pula mulai aktif menyampaikan perlawanan menggunakan mengusap rambut serta punggungku.
sambil terus memainkan ke 2 buah payudaranya tanganku mulai menjelajah area yg baru turun ke bawah melalui jalur tengah terus serta terus menembus batas atas celana panjangnya sedikit tekanan serta pulang meluncur ke bawah menerobos karet celana dalamnya perlahan turun sedikit serta segera tersentuh bulu-bulu yg sedikit lebih kasar. “Eeehhhm… ech…” tidak diteruskan akan tetapi beranjak kembali naik menyusuri lipatan celana panjangnya serta sampai di area pinggulnya serta segera kutekan menggunakan agak keras dan mantap, “Ach…” pekiknya kecil pendek seraya berkecimpung sedikit liar serta mengangkat pantat dan pinggulnya. Segera kutekan pulang lagi pinggul ini akan tetapi kali ini kulakukan keduanya kanan dan kiri serta, Gus… ugh…” teriaknya tertahan. aku kaget jua, itu kan ialah Audri sadar siapa yg mencumbunya serta itu juga berarti beliau memang menyampaikan kesempatan itu untukku. Matanya masih terpejam hanya-hanya kadang terbuka. Kutarik resleting celananya serta kutarik celana itu turun. simpel, sang karena Audri memang menginginkannya jua, sehingga gerakan yg dilakukannya sangat membantu. Tungkainya sangat proporsional, kencang, putih mulus, tentu beliau merawatnya dengan baik pula oleh sebab beliau juga kan berasal berasal famili kaya, jika tidak galat bapaknya salah satu pejabat tinggi pada bea cukai. Kuraba paha bagian dalamnya turun ke bawah betis, terus turun hingga punggung kaki serta secara tidak terduga Audri meronta serta terduduk, dengan nafas memburu serta tersengal-sengal, “Gus…” desisnya tertelan oleh nafasnya yang masih memburu. lalu beliau mulai membuka kancing bajuku sedikit tergesa serta kubantunya kemudian dia mulai mengecup dadaku yg bidang seraya tangannya bergerak aktif menarik resleting celanaku dan menariknya tanggal.
pribadi saja aku berdiri dan melepaskan seluruh bajuku serta kuterjang Audri sehingga dia rebah balik dan kujilat mulai asal perutnya. sementara tangannya ikut mengimbangi dengan mengusap rambutku, ketika saya sampai di selangkangannya kulihat beliau menggunakan celana dalam berwarna hitam serta terlihat belahan tengahnya yang sedikit konkaf sementara pinggirnya menonjol keluar mirip pematang sawah serta ada sedikit noda basah pada tengahnya tidak terlalu luas, ada sedikit bulu hitam yang mengintip keluar dari pulang celananya. Kurapatkan tungkainya kemudian kutarik celana dalamnya dan balik kurentangkan kakinya seraya saya jua melepas celanaku. sekarang kami sama berbugil, kemaluanku tegang sekali dan relatif akbar buat ukuranku. ad interim Audri sudah mengangkang lebar akan tetapi lobang memeknya masih tertutup kedap. Kucoba membukanya menggunakan jari-jari tangan kiriku dan tampak sebuah lubang mungil sebanyak kancing di tengahnya diliputi oleh semacam daging yang berwarna pucat demikian pula dindingnya tampak berwarna pucat walau lebih merah dibandingkan menggunakan bagian tengahnya. Gila, rupanya masih perawan.tidak usang kulihat segera keluar cairan bening yang mengalir dari lubang itu sang karena sudah tidak terdapat lagi kendala mekanik yg menghalanginya buat keluar serta banjir disertai baunya yang khas makin terasa tajam. Baru waktu itu kujulurkan lidahku buat mengusapnya perlahan dengan sedikit tekanan. “Eehhh… ach… ach… ehhh”, desahnya berkepanjangan. ad interim lidahku mencoba buat membersihkannya tetapi banjir itu datang tidak tertahankan.saya balik naik serta menindih tubuh Audri, sementara kemaluanku melekat di selangkangannya dan saya telah tidak tahan lagi lalu aku mulai meremas payudara kanannya yg elastis itu menggunakan kekuatan lemah yang makin usang makin kuat.“Gus… ambilah…” bisiknya tertahan seraya menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sementara kakinya diangkat tinggi-tinggi.
Baca carita Lainnya di CASINO69
dengan tangan kanan kuarahkan torpedoku untuk menembak menggunakan sempurna. Satu kali gagal cita rasanya melejit ke atas sang sebab licinnya cairan yg membanjir itu, 2 kali masih gagal jua tetapi yang ketiga rasanya aku berhasil waktu tangan Audri datang-tiba memegang erat ke 2 pergelangan tanganku menggunakan erat serta desisnya mirip menahan sakit menggunakan bibir bawah yang beliau gigit sendiri. sementara batang kejantananku cita rasanya mulai memasuki liang yang sempit serta membuka sesuatu lembaran, sesaat lalu semua batang kemaluanku sudah tertanam dalam liang surganya serta kaki Audri pun sudah melingkari pinggangku menggunakan erat dan menahanku buat berkecimpung. “Tunggu”, pintanya ketika aku ingin beranjak.Beberapa ketika lalu aku mulai beranjak mengocoknya perlahan serta kaki Audri pun sudah turun, mulanya biasa saja dan respon yg diberikan pula masih minimal, sesaat lalu nafasnya balik mulai memburu serta buah-butir keringat mulai tampak di dadanya, rambutnya telah kusut basah makin mempesona dan gerakan mengocokku mulai kutingkatkan frekuensinya dan Audri pun mulai dapat mengimbanginya. Makin usang gerakan kami semakin seirama. Tangannya yg di mulanya diletakkan di dadaku kini berkiprah naik dan akhirnya mengusap kepala dan punggungku. “Yach… ach… eeehmm”, desisnya berirama dan sesaat kemudian aku makin merasakan liang senggamanya makin sempit dan terasa makin menjempit kuat, gerakan tubuhnya makin liar. Tangannya sudah meremas bantal serta menarik kain sprei, sementara keringatku mulai menetes membasahi tubuhnya tetapi yang kunikmati saat ini merupakan kenikmatan yang makin meningkat dan luar biasa, lain dari yang kurasakan selama ini melalui masturbasi.
Makin cepat, cepat, cepat dan akhirnya kaki Audri balik mengunci punggungku serta menariknya lebih ke pada bersamaan dengan pompaanku yang terakhir dan kami terdiam, sedetik lalu.. “Eeeggghhh…” jeritannya tertahan bersamaan menggunakan mengalirnya cairan nikmat itu menjalar di sepanjang kemaluanku serta, “Crooot… crooot”, memberikannya kenikmatan yg luar biasa. sebaliknya bagi Audri terasa terdapat semprotan bertenaga di dalam sana dan menyampaikan rasa hangat yg mengalir serta berputar serasa terus menembus ke dalam tiada berujung. selesai telah pertempuran tetapi kekakuan tubuhnya masih kurasakan, demikian pula tubuhku masih kaku.Sesaat lalu kuraih bantal yang tersisa, kulipat jadi dua dan kuletakkan kepalaku di situ selesainya sebelumnya bergeser sedikit buat memberinya nafas supaya beban tubuhku tidak menindih paru-parunya tetapi tetap tubuhku menindih tubuhnya. Kulihat senyum puasnya masih membesar di bibir mungilnya serta tubuhnya terlihat mengkilap licin karena keringat kami berdua.
“Gus… thank you”, sesaat kemudian, “Ehmmm… Gus aku boleh tanya?” bisiknya perlahan. “Ya”, sahutku sambil tersenyum dan menyeka keringat yang melekat di ujung hidungnya. “saya… gadis keberapa yg elu tidurin?” tanyanya sehabis sempat terdiam sejenak. “yg pertama”, kataku meyakinkannya, tetapi Audri mengerenyitkan alisnya. “benar-benar?” tanyanya buat meyakinkan. “betul… keperawanan elu aku ambil tapi perjakaku jua elu yg ambil”, bisikku di telinganya. Audri tersenyum cantik.“Dri, thank you jua”, itu istilah-kata terakhirku sebelum beliau tidur terlelap kelelahan dengan senyum puas masih tersungging pada bibir mungilnya dan btg kemaluanku pula masih belum keluar akan tetapi aku juga ikut terlelap.
Leave a Reply